A.
Biografi Dan Pendidikan Al-Attas
Syed Moh Naquib al-Attas
dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September `93`. Saat itu
Indonesia beradadi bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Al-Attas termasuk
keturunan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya bernama
Syarifah Raquan Al-‘Aydarus keturunan bangsawan
Sunda di Sukapura[1], ayahnya syed
Abdullah ibn Muhammad Al-Attas bangsawan
di Johor. Al-Attas juga mendapat gelar “Sayyed” dalam tradisi Isalam
keturunan langsung dari nabi Muhammaad.
Usia 5 tahun, al-Attas dibawa
orang tuanya migrasi ke Malaysia. Al-Attas mendapat pendidikan dasar di Ngee
Heng Primary School[2] sampai
usia 10 tahun.Di sana , al-Attas tingal bersama pamannya, Ahmad,
kemudian dengan bibinya, Azizah yang suaminya bernama Dato’ Jaafar ibn Haji
Muhammad, Kepala menteri Johor Modern yang pertama. Kemudian al-Attas dan keluarganya kembali ke Indonesia. Disini
al-Attas melanjutkan pendidikan di “urwah al-wusqa:, Sukabumi selama 4 tahunpada tahun
1941-1945. Al-Attas mendalami tradisi Isla, bisa dipahami
karena saat itu di Sukabumi berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[3]
Al-Attas kembali ke Malaysia
dengan memasuki dunia militer dengan mendaftarkan sebagai tentara kerajaan
upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran al-attas telah
menunjukkan kelasnya, sehingga atasanya memilih dia sebagai salah satu peserta
pendidikan militer yang lebih tinggi, dia juga belajar sekolah militer di
Inggris.
Setelah menamatkan
sekolah menengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai
kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya
dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya
dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan
Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang
bersarang di hutan, namun tidak lama.
Setelah Malaysia merdeka
(1957), al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer, dan mengembangkan
potensi dasarnya yakni bidang intelekual. Untuk itu al-Attas sempat masuk
Universitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasannya dan ketekunannya, di
dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institut of Islamic
Studies, Mc.Gill, Canada. Berhasil menggondol gelar master dengan
mempertahankan tesis Reniry and the Wujudyyah of 17th Century
Acheh[4].
Setelah menamatkan
sekolahmenengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai kadet
dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya
dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya
dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan
Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang
bersarang di hutan, namun tidak lama.
Al-attas kembali ke Malaysia
pada 1965, Termasuk di antara orang sedikit orang Malaysia pertama yang
memperolehelar Doctor of Philosophy dan yang didapatkan dari
Universitas London, al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas
kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur, dari 1968 sampai 1070, dia
menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Dia juga
bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar
di lingkungan fakultas dan universitas, yang karenanya terpaksa menghadapi
oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha terebut[5].
Pada 1979, dalam kapasitasnya
sebagai salah seorang Pendiri Senior UKM 9Universitas Kebangsaan Malaysia),
al-Attas juga berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar di UKM dengan bahasa Melayu. Dia juga ikut mengonseptualisasikan
dasr-dasar filsafat UKM dan melopori pendidikan fakultas ilmu dan kajian Islam.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah
seorang pakarbyang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat
dan metefisika, sejarah dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif
ferensi peradaban Melayu.
Dia juga orang yang merancang dan
mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. Pada tahun 1993, dia diminta
menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazali. Pa tahun
1994 dia diminta untuk menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan
lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islamyang dikemas
dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan. Tahun 1997 Al-Attas dipercaya
untuk membangun kampus ISTAc baru yang hanyaa beberapa kilometer dari bangunan
ISTAC sekarang.
Al-Attas sering mendapat penghargaan
internasional, misalnya al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi
panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des
Orientalistes yang ke-29 di paris tahun 1979. Pada tahun 1975, atas
kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial
Iranian Academy of Philosophy. Dia juga pernah menjadi konsulta.
Utama penyelenggaraan Festival Islam
Internasional (World of Islam Festival) di London 1976, sekaligus menjadi
pembicara dan utusan dalam Konferensi Islam Internasional yang diadakan secara
bersamaan di tempat yang sama[6].
B.
Pemikiran Tentang Pendidikan
Paradigma pemikiran al-Attas
bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia
metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis.
Perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikanandil yang sangat
besar dalam pembentukan paradigm pemikiran selanjutnya. Oleh karena itu, bila
dilihat secara seksama, maka pemikiran al-Attas berawal dari keprihatinannya
terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah islam yang
disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang magis
(ghaib) dan sekularisasi. Sebagai jawaban untuk menanggulangi distorsi atau
bahkan mengembalikannya pada proporsi yang sebenarnya, maka al-Attas
memperkenalkan, dan mngemukakan proses de westernisasi dan islamisasi sebagai
langkah awal membangun paradigma pemikiran islam kontemporer.
1.
De
westernisasi dan Islamisasi
De westernisasi mempunyai arti
pembersihan dari westernisasi. Jika dipahami, sebagai pembaratan atau
mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup Barat maka de westernisasi
dipahami sebagai upaya penglepasan sesuattu dari proses pemberatan, atau dengan
kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh-pengaruh Barat.
Dalam pernyataan yang
dikemukakan al-Attas bahwa pada proses dewesternisasi dan Islamisasi yang
menjadi kendali utama adalah manusia. Jika melalui suatu tafsiran
alternative pengetahuan tersebut manusia mengetahui hakekat dirinya serta
tujuan sejati hidupnya dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiaannya,
maka pengetahuan itu walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang
menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan itu dikonsepsikan, di
evaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut
sebagai pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi
tujuan manusia dalam mengetahui segalanya.
Strategi yang digunakan
al-Attas adalah, pertama, Posisi umat Islam. Posisi umat Islam
saat ini, pasca keruntuhan paham sosialis komunis, menjadi satu-satunya paham
yang berseberangan dengan paham kapitalisme Barat. Dalam posisi yang demikian,
maka pandangan-pandangan dunia Islam yang murni menjadi sorotan utama bagi
pakar pemikiran I nternasional.
Kedua, sumber daya manusia merupakan asset yang paling dominan. Dalam berbagai
aspek kehidupan, sumber daya manusia merupakan unsur yang paling vital dalam
sebuah perubahan, termasuk Islamisasi ilmu. Sehingga sumber daya manusia yang
Islami secara inheren akan memiliki pandangan dunia yang Islami dan mengamalkan
nilai-nilai yang islami pula.
Ketiga, disiplin ilmu merupakan benda mati. Upaya Islamisasi ilmu dengan
mengarah pada disiplin itu sendiri pada dasarnya tidak akan mempunyai arti bila
tidak berada ditangan orang-orang yang mempunyai pandangan dunia dan
mengamalkan nilai-nilai Islam.
Sebab, disiplin ilmu itu
sendiri merupakan benda mati yang fungsi dan peranannya sangat tergantung
pada manusianya.
2.
Metafisika
dan Epistemologi
a.
Metafisika
Islam
Pemikiran metafisika al-Attas
berangkat dari paham teologisnya. Dalam tradisi Islam dikenal beberapa
istilah. Terutama dalam tradisi tasawuf. Al-Attas memberikan batasan yang jelas
mengenai berbagai tingkatan para salik (orang yang melakukan olah spiritual
tasawuf) dalam dunia kesufian. Paling tidak terdapat tiga tingakatan yang
ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat herarkis, yaitu:
Pertama, mubtadi’ ,yakni
seorang sufi yang berada pada tingkatan awal. Dalam gradasi ini salik masih
terbatas melaksanakan amalan-amalan yang berkisar pada masalah moral dan adab.
Tingkatan ini menjadi tangga pertama dalam upaya merengkuh tangga selanjutnya.
Salik tidak akan mengalami promosi tingkat bila dalam gradasi yang pertama
belum berhasil secara tuntas.
Kedua, mutawassith, memasuki
gradiasi kedua si salik sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir yang
mengenal kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan sang mursyid
(guru si salik). Pada tingkatan ini si salik harus melaksanakan wirid dan zikir
secara kontinu. Sedangkan zikir itu sendiri meliputi zikir dalam bentuk
perkataan (zikir qauliy), perbuatan (zikr dan perasaan atau yang dilakukan
dalam hati (zikr qalby).
Ketiga, muntahiy. Pada
tingkatan tertinggi ini si salik memasuki dunia filsafat dan metafisika.
Gradasi terakhir ini mewajibkan si salik memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam tentang tiga jenis pengetahuan (‘ilm), yaitu ilmu kebijaksanaan
ketuhanan (al hikmah al ilahiyah), ilmu-imu naqliyah atau syari’ah (al ‘ulum al
syari’ah) dan yang terakhir ilmu-ilmu rasional (al-ulum al aqliyyah).
Dengan ketiga jenis
pengetahuan ini, maka tasawuf yang dikemukakan al-Attas di atas, lebih dikenal
dengan ebutan tasawuf falsely. Sedangkan tasawuf yang membatasi dirinya pada
tingkatan pertama dan kedua dikenal dengan istilah tasawuf akhlaqy[7].
C.
Pemikiran Terhadap Pengetahuan Dan Pendidikan Islam
Dominasi pengetahuan Barat yang
sekuler dan dalam perkembangannya menjelma dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dehumanistik telah menjadikan manusia hanya sebagai objek
rekayasa ekonomi dan politik pada elit masyarakat dan eksploitasi alam yang
tidak terkendali lagi, bahkan terjadinya desintegrasi social dan degradasi
(dekadensi) moral. Diyakini kaum muslimin dapat
terbebas dari berbagai kesalahan nilai yang berasal dari sekularisasi pengetahuan
Barat tersebuthanya dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al-Attas berusaha keras
menggiring umat muslimin melalui agenda islamisasi ilmu pengetahuan dan
teknologinya dan melalui konsep dan system pendidikannya yang merupakan starting
point dari keseluruhan programnya yang lebih merupakan sebagai gerakan
aksiologis dan sebagai upaya preventif dengan legitimasi normative berdasarkan
Al-qur’an dan al-Hadits.
Al-Attas berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui suatu proses intuitif. Hal
ini dapat dimengerti karena semua yang tampak dan merupakan realitas adalah
Tuhan. Dari Tuhan inilah adanya pancaran, atau dengan kata lain melimpah
menjadi wujud-wujud yang sangat banyak, yang diantaranya adalah ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, tidaklah dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan
itu sebenarnya berasal dari Tuhan, karena itu ilmu pengetahuan yang dimiliki
oleh manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah. Karena itulah,
bila dilihat dari sumber hirarki ilmu pengetahuan itu, maka sesungguhnya
pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu atau objek pengetahuan ke dalam
jiwa[8].
0 comments:
Post a Comment