728x90 AdSpace

Latest News

Sunday 25 October 2015

Eksistensi Perkembangan Hadis dari Masa ke Masa

. Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Masa Nabi Saw.
Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa pembentukan dan penyebaran hadist. seperti yang kita ketahui bahwa Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada nabi.[1]
Jika kita memperhatikan kurun waktu yang panjang yang tidak lebih dari seperempat abad, sejak permulaan dakwah nabi  muhammad sampai beliau wafat. Maka kita akan menemukan suatu madrasah yang besar dalam suatu tahap pendiddikan baru. Pengarahan, pendidikan, dan pengajaran sisiwa-siswa itu berada dalam bimbingan Muhammad SAW. Materinya adalah al-qur’an dan Al-hadist, dan siswa-siswanya adalah para shahabat[2].
 Hadist atau as-sunnah adalah materi yang diterima oleh para sahabat dari Rosulullah selain al-qur’an, kemudian mereka secara bersama-sama mempraktikkan dan mengikutinya. Para sahabat sangat bersemangat untuk mengetahui sunnah Rosulullah mereka berlomba-lomba datang kemajelis-majelis Rosul semata-mata di dorong oleh keimanan yang kuat dan kecintaan kepada guru besar mereka. Mereka mendengar keutamaan dan kedudukan ilmu serta pahala yang diperoleh oleh ulama’ dan penuntut ilmu. Oleh karenanya, mereka selalu bersiap diri untuk menerima dan mempraktikkan as-sunnah berdasarkan tuntunan hati nurani mereka, secara benar dan ikhlas.
Adapun hadits atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian tidak seperti halnya al-qur’an. Penulisan hadist dilakukan oleh para sahabat secara tidak resmi, karna tidak diperintahkan oleh Nabi sebagaimana nabi telah memerintahkan mereka untuk menulis Al-Qur’an. Di riwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadist rasul diantara sahabat yang memiliki catatan hadis adalah Abdullah bin Amr bin As yang menulis sahifah-sahifah yang diberi nama “As-Shadiqoh”.[3]
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Adapun salah satu hadist yang menyebutkan pelarangan penulisan hadist adalah :
لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapuskan”(HR. Muslim).
Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa larangan menulis hadits di nashakh (di mansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian. Sebagian ulama’ yang lain berpendapat bahwa rosulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadits secara tidak resmi, mereka memahami hadist rosulullah di atas, bahwa larangan nabi menulis hadist ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadits dengan al-qur’an. Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang  tidak dikhawatirkan mencampur adukkan hadist dengan al-qur’an[4].
Hanya beberapa sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi saw. Di antara sahabat yang paling banyak menghafal/ meriwayatkan hadits adalah Abu hurairah. Menurut keterangan ibnu jauzi bahwa hadits yang di riwayatkan oleh abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadits. Kemudian para sahabat yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah adalah:
a)      Abdullah bin Umar ra. Meriwayatkan 2.630 hadits
b)      Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 hadits
c)      Syayyidah Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits
d)     Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1540 hadits
e)      Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
f)       Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits[5]
Oleh karena itu setelah al-qur’an ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya meskipun belum di kumpulkan, maka tidak ada lagi larangan menulis hadist.
Adapun hadist yang memperbolehkan penulisan hadist diantaranya adalah hadist yang di riwayatkan dari anas bin malik ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: yang artinya “ikatlah ilmu dengan tulisan”.
B. Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Masa Sahabat dan tabiin
      Setelah rosulullah wafat dan wahyupun terputus, tidak ada yang beliau tingalkan untuk umat islam kecuali Al-Qur’an dan Al-Hadist. Para sahabat dan tabi’in selalu berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah. Mereka mengikuti perintah allah untuk menaati dan menerima hukum beliau.
Para sahabat bersikap sangat tegas terhadap As-Sunnah, Abu Nadhrah meriwayatkan dari imran bin hushain bahwa seseorang datang kepadanya dan bertanya tentang sesuatu. Kemudian, imran menjawabnya berdasarkan hadist rasulullah saw. Orang itu berkata:
“berilah jawaban kepadaku berdasarkan kitab allah (al-qur’an) dan janganlah engkau jawab berdasarkan shalat beliau.” Imran berkata. “Engkau seorang yang bodoh. Apakah didalam al-qur’an engkau menemukan keterangan tentang shalat dzuhur yang jumlah rakaatnya empat dan tidak boleh membaca bacaan yang keras didalamnya, bilangan shalat yang lain bilangan harta yang harus di zakati dan lain?.” Imran berkata lebih lanjut,”apakah engkau menemukan hal-hal tersebut dijelaskan dalam al-qur’an? Al-Qur’an menegaskan hal-hal tersebut dan As-Sunnah memberikan penjelasan.”.
 Para sahabat mengetahui kedudukan assunnah maka mereka berpegang teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar rosullullah. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadist nabi. Karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-sunnah yang suci ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. As-sunnah adalah sumber syari’at pertama setelah al-qur’an. Oleh karna itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadist. Mereka memilih bersikap sedangdalam “meriwayatkan hadist” bahkan sebagian dari mereka memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadist”.
Ibnu Qutaidah berkata, “Umar sangat tidak menyukai orang yang banyak meriwayatkan hadist atau orang yang membawa khabar tentang hukum tanpa disertai dengan saksi”. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak dapat secara secara leluasa meriwayatkan hadist dan tidak terjadi campur aduk antara hadist dan selain hadist, pemalsuan dan pendustaan hadist oleh orang munafik serta penyelewengan.[6]
Pada periode ini, para sahabat memiliki komitmen terhadap kitab allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan di dalam hati mereka. Mereka menghimpunya pada masa Abu Bakar, menulisnya pada masa utsman dan mengirimnya ke berbagai penjuru wilayah islam untuk menjamin terpeliharanya sumber ajaran yang pertama, Al-Qur’an, dari tercampur apapun. Kemudian mereka memelihara As-Sunnah dengan cara mempelajari, mengkaji, dan kadang-kadang menulisnya ketika tidak ada lagi larangan menulisnya.
Para tabi’in senantiasa meneladani para sahabat. Mereka, para sahabat adalah generasi pertama yang memelihara Al-Quran dan Al-Hadits. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang masalah pembukuan Al-Hadist. Faktor-faktor yang mendorong khulafaur rosyidin dan para sahabat menolak penulisan Al-Hadist  juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka mempunyai satu sikap. Mereka menolak penulisan hadist selama sebab-sebabnya ada, sebaliknya , jika sebab-sebab itu sudah tidak ada mereka sepakat memperbolehkan penulisan Al-Hadist. Bahkan, kebanyakan mereka mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadist.
Pada periode ini juga mulai muncul pemalsuan hadist oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. pada masa ini umat islam terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, perpecahan iti memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari nabi untuk mendukung golongan mereka.
Oleh sebab itulah, mereka membuat hadist palsu dan menyebarknya kepada masyarakat.[7]
C.    Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Abad II, III dan IV H.
Pada masa abad ke II H. ini disebut masa pengkodifikasian Hadits. Dimana kholifah pada saat itu adalah Umar bin Abdul Aziz, yang di kenal dengan khulafa’ur rasyidin ke lima. dalam hubungan ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Kholifah Umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan memprakarsai penghimpunan hadist secara resmi.[8] ia menilai penting memelihara dan menghimpun hadits, dan tidak mungkin ia memerintahkan pembukuan dan penulisan hadits sedangkan para ulama’ pada saat itu tidak menyetujui prakarsanya itu. beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau perintahkan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama’dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Kholifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah kholifah tersebut. Dan az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama’ yang pertama kali membukukun hadist. Dari Syihab Az-Zuhri ini kemudian dikembangkan oleh ulama’-ulama’ berikutnya, yang disamping pembukuan hadist sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadist yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.[9]
Setelah generasi Syihab Az-Zuhri kemudian pembukuan hadist dilanjutkan oleh ibnu Juraij, Ar-Rabi’ bin sabih dan masih banyak lagi ulama’ ulama’ lainnya. Akan tetapi hadist itu belum begitu sempurna. Para ulama’abad kedua ini membukukan hadist tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadist-hadist saja, tetapi fatwa-fatwa sahabatpun masuk ke dalam bukunya. Oleh karena itu dalam kitab-kitab itu terdapat hadist-hadist marfu’ hadis-hadist mauquf, dan hadis-hadis maqthu’. Kitab-kitab hadist yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad ke dua ini, jumlahnya sangat banyak. akan tetapi yang masyhur dikalangan ahli hadist antara lain adalah:
1)      Al Muwaththa susunan Imam Malik (95 H-179 H).
2)      Al-Maghazi wal Siyar susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3)      Al-Musnad susunan Abu Hanifah (150 H)
4)      Al MusnadsusunanAs Syafi’i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M).
Dan masih banyak lagi kitab-kitab hadist yang lain.
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Al-Hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha membukukan hadist Rasulullah semata-mata secara murni. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai dengan menyusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Lahirlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai agama islam.
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, dan kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1.      Shahih al-Bukhari atau Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.)
2.      Shahih al-Muslim, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H.)
3.      Sunan Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
4.      Sunan al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
5.      Sunan al-Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid ibnu Bahr al-Nasa’iy (215-302 H.)
6.      Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah ibnu Yazid ibnu Majah (207-2734H.)[10]
Selanjutnya kitab-kitab karya mereka di-syarah, di teliti, diikhtisarkan, oleh para ulama sesudahnya.
D.    Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Abad IV H. Samapai Sekarang
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, Al-Hadits berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan Al-Hadits yang telah didewankan oleh Ulama Mutaqaddimin ( Ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Muta-akhkhirin (Ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai beratus-ratus ribu hadits. Sejak perieode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh .
Abad ke IV ini merupakan abad pemisah antara Ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan Ulama Muta-akhkhirin yang dalam usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh Ulama Mutaqaddimin.
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah di tujukan untuk mengklasifikasikan Al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan (menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami’ wa al-Tartib (masa menghimpun dan menertibkan susunanya).
Seiring dengan berjalannya waktu dan keadaan pada masa ini, para ulama Hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab Hadis yang sudah dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji Hadis pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa Hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab Hadis tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan Hadis dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Pada periode ini, umumnya para ulama hadist mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
1.      Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di antara contohnya adalah:
1)      Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2)      Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3)      Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
2.      Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadist, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
3.      Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
4.      Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan Hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
5.      Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
6.      Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun Hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
7.      Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani.[11]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri Hadis-hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-hadis tersebut.



[1] Hasan Ibrahim Hasan. Tarikh Islam.(Kairo: Makhtabah Nahdhah Al-mishriyah, 1987 M)Hal. 87
[2] Hasby al-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1972), hlm. 82

[3]Indri. Study Hadist. (Jakarta: Kencana, 2010)Hal. 26
5.Abu Abd Allah Muhammad al-Hakim al-Naysaburi. Ma’rifah ulum al-Hadist(Madinah: al-Maktabah al-ilmiyyah ,1997)Hal 75.
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakrta: Pustaka Amina, 2001)hal.73
[6] Indri. Study Hadist. (Jakarta: Kencana, 2010)Hal. 94
[7] Indri. Study Hadist. (Jakarta: Kencana, 2010)Hal. 94
[8] M Ajaj Al-khatib.  Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. (Jakarta: Gema insani press, 1999)hal. 86
[9] Abu Abd Allah Muhammad al-Hakim al-Naysaburi. Ma’rifah ulum al-Hadist(Madinah: al-Maktabah al-ilmiyyah ,1997)Hal 75.

[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakrta: Pustaka Amina, 2001)hal.82

[11] Saeful Hadi.. Ulumul Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Konprehensif. (Yokyakarta: Media Sabda. 2008)hal 108

Eksistensi Perkembangan Hadis dari Masa ke Masa
  • Title : Eksistensi Perkembangan Hadis dari Masa ke Masa
  • Posted by :
  • Date : 12:34
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top