. Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Masa Nabi Saw.
Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa
pembentukan dan penyebaran hadist. seperti yang kita ketahui bahwa Rasulullah hidup di
tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya Mereka bergaul secara bebas dan mudah,
tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul
dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat
menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada
permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan
bisa langsung bertanya pada nabi.[1]
Jika kita memperhatikan kurun waktu yang panjang
yang tidak lebih dari seperempat abad, sejak permulaan dakwah nabi muhammad sampai beliau wafat. Maka kita akan
menemukan suatu madrasah yang besar dalam suatu tahap pendiddikan baru.
Pengarahan, pendidikan, dan pengajaran sisiwa-siswa itu berada dalam bimbingan
Muhammad SAW. Materinya adalah al-qur’an dan Al-hadist, dan siswa-siswanya
adalah para shahabat[2].
Hadist atau
as-sunnah adalah materi yang diterima oleh para sahabat dari Rosulullah selain
al-qur’an, kemudian mereka secara bersama-sama mempraktikkan dan mengikutinya.
Para sahabat sangat bersemangat untuk mengetahui sunnah Rosulullah mereka
berlomba-lomba datang kemajelis-majelis Rosul semata-mata di dorong oleh
keimanan yang kuat dan kecintaan kepada guru besar mereka. Mereka mendengar
keutamaan dan kedudukan ilmu serta pahala yang diperoleh oleh ulama’ dan
penuntut ilmu. Oleh karenanya, mereka selalu bersiap diri untuk menerima dan
mempraktikkan as-sunnah berdasarkan tuntunan hati nurani mereka, secara benar
dan ikhlas.
Adapun hadits atau sunnah dalam penulisannya ketika
itu kurang memperoleh perhatian tidak seperti halnya al-qur’an. Penulisan
hadist dilakukan oleh para sahabat secara tidak resmi, karna tidak
diperintahkan oleh Nabi sebagaimana nabi telah memerintahkan mereka untuk
menulis Al-Qur’an. Di riwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan
hadits-hadist rasul diantara sahabat yang memiliki catatan hadis adalah
Abdullah bin Amr bin As yang menulis sahifah-sahifah yang diberi nama
“As-Shadiqoh”.[3]
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya
disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini dikarenakan banyak
sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk
menulis hadits. Adapun salah satu hadist yang menyebutkan pelarangan penulisan
hadist adalah :
لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير
القرأن فليمحه- رواه مسلم
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dariku selain Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapuskan”(HR. Muslim).
Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa larangan
menulis hadits di nashakh (di mansukh) dengan hadis yang memberi izin yang
datang kemudian. Sebagian ulama’ yang lain berpendapat bahwa rosulullah tidak
menghalangi usaha para sahabat menulis hadits secara tidak resmi, mereka
memahami hadist rosulullah di atas, bahwa larangan nabi menulis hadist
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadits dengan
al-qur’an. Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan hadist dengan
al-qur’an[4].
Hanya beberapa sahabat saja yang mencatat hadits
yang didengarnya dari Nabi saw. Di antara sahabat yang paling banyak menghafal/
meriwayatkan hadits adalah Abu hurairah. Menurut keterangan ibnu jauzi bahwa
hadits yang di riwayatkan oleh abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadits.
Kemudian para sahabat yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah
adalah:
a)
Abdullah bin Umar ra. Meriwayatkan 2.630 hadits
b)
Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 hadits
c)
Syayyidah Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits
d)
Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1540 hadits
e)
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
Oleh karena itu setelah al-qur’an ditulis dengan
sempurna dan telah lengkap pula turunannya meskipun belum di kumpulkan, maka
tidak ada lagi larangan menulis hadist.
Adapun hadist yang memperbolehkan penulisan hadist
diantaranya adalah hadist yang di riwayatkan dari anas bin malik ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: yang artinya
“ikatlah ilmu dengan tulisan”.
B. Eksistensi
dan Perkembangan Hadist Pada Masa Sahabat dan tabiin
Setelah rosulullah wafat dan wahyupun terputus,
tidak ada yang beliau tingalkan untuk umat islam kecuali Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Para sahabat dan tabi’in selalu berpegang teguh kepada sunnah
Rasulullah. Mereka mengikuti perintah allah untuk menaati dan menerima hukum
beliau.
Para sahabat bersikap sangat tegas terhadap
As-Sunnah, Abu Nadhrah meriwayatkan dari imran bin hushain bahwa seseorang
datang kepadanya dan bertanya tentang sesuatu. Kemudian, imran menjawabnya
berdasarkan hadist rasulullah saw. Orang itu berkata:
“berilah jawaban kepadaku berdasarkan kitab allah
(al-qur’an) dan janganlah engkau jawab berdasarkan shalat beliau.” Imran
berkata. “Engkau seorang yang bodoh. Apakah didalam al-qur’an engkau menemukan
keterangan tentang shalat dzuhur yang jumlah rakaatnya empat dan tidak boleh
membaca bacaan yang keras didalamnya, bilangan shalat yang lain bilangan harta
yang harus di zakati dan lain?.” Imran berkata lebih lanjut,”apakah engkau menemukan
hal-hal tersebut dijelaskan dalam al-qur’an? Al-Qur’an menegaskan hal-hal
tersebut dan As-Sunnah memberikan penjelasan.”.
Para sahabat mengetahui kedudukan assunnah maka mereka berpegang teguh
padanya dan mengikuti atsar-atsar rosullullah. Mereka berhati-hati dalam
meriwayatkan hadist nabi. Karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-sunnah
yang suci ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. As-sunnah adalah sumber
syari’at pertama setelah al-qur’an. Oleh karna itu mereka menempuh segala cara
untuk memelihara hadist. Mereka memilih bersikap sedangdalam “meriwayatkan
hadist” bahkan sebagian dari mereka memilih bersikap “sedikit dalam
meriwayatkan hadist”.
Ibnu Qutaidah berkata, “Umar sangat tidak menyukai
orang yang banyak meriwayatkan hadist atau orang yang membawa khabar tentang
hukum tanpa disertai dengan saksi”. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak
dapat secara secara leluasa meriwayatkan hadist dan tidak terjadi campur aduk
antara hadist dan selain hadist, pemalsuan dan pendustaan hadist oleh orang
munafik serta penyelewengan.[6]
Pada periode ini, para sahabat memiliki komitmen
terhadap kitab allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan
di dalam hati mereka. Mereka menghimpunya pada masa Abu Bakar, menulisnya pada
masa utsman dan mengirimnya ke berbagai penjuru wilayah islam untuk menjamin
terpeliharanya sumber ajaran yang pertama, Al-Qur’an, dari tercampur apapun.
Kemudian mereka memelihara As-Sunnah dengan cara mempelajari, mengkaji, dan
kadang-kadang menulisnya ketika tidak ada lagi larangan menulisnya.
Para tabi’in senantiasa meneladani para sahabat.
Mereka, para sahabat adalah generasi pertama yang memelihara Al-Quran dan
Al-Hadits. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang
masalah pembukuan Al-Hadist. Faktor-faktor yang mendorong khulafaur rosyidin
dan para sahabat menolak penulisan Al-Hadist
juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka
mempunyai satu sikap. Mereka menolak penulisan hadist selama sebab-sebabnya
ada, sebaliknya , jika sebab-sebab itu sudah tidak ada mereka sepakat
memperbolehkan penulisan Al-Hadist. Bahkan, kebanyakan mereka mendorong dan
menumbuhkan sikap berani membukukan hadist.
Pada periode ini juga mulai muncul pemalsuan hadist
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya
Ali r.a. pada masa ini umat islam terpecah-pecah menjadi beberapa golongan,
perpecahan iti memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari nabi untuk mendukung
golongan mereka.
C.
Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Abad II, III dan IV H.
Pada masa abad ke II H. ini disebut masa
pengkodifikasian Hadits. Dimana
kholifah pada saat itu adalah Umar bin Abdul Aziz, yang di kenal dengan
khulafa’ur rasyidin ke lima. dalam hubungan ini, pemerintah di bawah
kepemimpinan Kholifah Umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan
memprakarsai penghimpunan hadist secara resmi.[8]
ia menilai penting memelihara dan menghimpun hadits, dan tidak mungkin ia
memerintahkan pembukuan dan penulisan hadits sedangkan para ulama’ pada saat
itu tidak menyetujui prakarsanya itu. beliau khawatir lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik dikalangan sahabat maupun
tabi’in. maka beliau perintahkan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri
Islam agar para ulama’dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Kholifah
juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan
perintah kholifah tersebut. Dan az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu
ulama’ yang pertama kali membukukun hadist. Dari Syihab Az-Zuhri ini kemudian
dikembangkan oleh ulama’-ulama’ berikutnya, yang disamping pembukuan hadist
sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadist yang maqbul dan mardud dengan
menggunakan metode sanad dan isnad.[9]
Setelah generasi Syihab Az-Zuhri kemudian pembukuan
hadist dilanjutkan oleh ibnu Juraij, Ar-Rabi’ bin sabih dan masih banyak lagi
ulama’ ulama’ lainnya. Akan tetapi hadist itu belum begitu sempurna. Para ulama’abad
kedua ini membukukan hadist tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya
membukukan hadist-hadist saja, tetapi fatwa-fatwa sahabatpun masuk ke dalam
bukunya. Oleh karena itu dalam kitab-kitab itu terdapat hadist-hadist marfu’
hadis-hadist mauquf, dan hadis-hadis maqthu’. Kitab-kitab hadist yang telah
dibukukan dan dikumpulkan dalam abad ke dua ini, jumlahnya sangat banyak. akan
tetapi yang masyhur dikalangan ahli hadist antara lain adalah:
2)
Al-Maghazi wal Siyar susunan Muhammad ibn Ishaq
(150 H)
3)
Al-Musnad susunan Abu Hanifah (150 H)
Dan masih banyak lagi kitab-kitab
hadist yang lain.
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha
menyisihkan Al-Hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha
membukukan hadist Rasulullah semata-mata secara murni. Untuk tujuan yang mulia
ini mereka mulai dengan menyusun kitab-kitab musnad yang bersih
dari fatwa-fatwa. Lahirlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi,
Musyaddad Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun
kitab-kitab musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun
kitab-kitab hadist permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa
namun masih mempunyai kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan
hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh
golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai agama islam.
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits
tersebut, bergeraklah ulama-ulama hadits pertengahan abad ketiga untuk
menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi hadits tidak
luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, dan
kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab
hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, pada perkembangannya dikenal
dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1. Shahih
al-Bukhari atau Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256
H.)
2. Shahih
al-Muslim, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H.)
3. Sunan
Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq al-Sajastani
(202-275 H.)
4. Sunan
al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279
H.)
5. Sunan
al-Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid ibnu Bahr al-Nasa’iy (215-302
H.)
Selanjutnya kitab-kitab karya mereka di-syarah, di
teliti, diikhtisarkan, oleh para ulama sesudahnya.
D.
Eksistensi dan Perkembangan Hadist Pada Abad IV H. Samapai Sekarang
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga,
Al-Hadits berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan
penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan Al-Hadits yang telah
didewankan oleh Ulama Mutaqaddimin ( Ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut
mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama
Muta-akhkhirin (Ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal
sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, sehingga tidak
mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai beratus-ratus ribu
hadits. Sejak perieode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu
hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh .
Abad ke IV ini merupakan abad pemisah antara Ulama
Mutaqaddimin, yang dalam menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para
sahabat atau para tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri,
dengan Ulama Muta-akhkhirin yang dalam usahanya dalam menyusun kitab-kitab
hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh Ulama
Mutaqaddimin.
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya
adalah di tujukan untuk mengklasifikasikan Al-Hadits dengan menghimpun
hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam
suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan (menguraikan
dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan
Ashru al-Jami’ wa al-Tartib (masa menghimpun dan menertibkan susunanya).
Seiring dengan berjalannya waktu dan keadaan pada
masa ini, para ulama Hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab Hadis yang
sudah dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan
jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan
lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji Hadis pada saat
sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadis tersebut dapat dijadikan
sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa
Hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah
mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab
Hadis tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan
menyelamatkan Hadis dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Pada periode ini, umumnya para ulama hadist
mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan
meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
1.
Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian
dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan
dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’
lainnya. Di antara contohnya adalah:
1)
Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih
al-Bukhari.
2)
Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih
Muslim.
3)
‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim
al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
2.
Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu
kitab Hadist, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd
al-Baqi.
3.
Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun
Hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya.
Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri,
yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub
al-Sittah.
4.
Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab
yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan
Hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh
A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd
al-Baqi.
5.
Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan
tempat-tempat pengambilan Hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan
menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’,
oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam
kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
6.
Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun
Hadis-hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa
al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun Hadis-hadis
Bukhari dan Muslim.
7.
Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti
masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn
Hajar al-‘Asqalani.[11]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis
tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari
serta mentelusuri Hadis-hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui
kualitas Hadis-hadis tersebut.
[1]
Hasan Ibrahim Hasan. Tarikh Islam.(Kairo: Makhtabah Nahdhah Al-mishriyah,
1987 M)Hal. 87
[2]
Hasby al-Shiddiqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1972), hlm. 82
[9] Abu Abd Allah Muhammad al-Hakim al-Naysaburi. Ma’rifah ulum al-Hadist(Madinah: al-Maktabah al-ilmiyyah ,1997)Hal 75.
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis, (Jakrta: Pustaka Amina, 2001)hal.82
[11] Saeful Hadi.. Ulumul Hadits Panduan Ilmu
Memahami Hadits Secara Konprehensif. (Yokyakarta: Media Sabda. 2008)hal 108
0 comments:
Post a Comment