Sejarah Munculnya Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari
kata jabara yang berarti memaksa. Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabar (dalam bentuk mubalaghah),
itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al insane majbur (bentuk
isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah
(dengan menambah ya nisbah), memilki arti suatu kelompok atau aliran
(isme). Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau
predestination. Dalam kamus Jhon M.Echols, pengertian fatalism adalah
kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya sedangkan predestination
adalah takdir[1].Sehingga
makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo’
dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham
jabariyah ini diduga telah ada sejak sebalum agama Islam datang kemasyarakat
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat
tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari
mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata
tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan[2]. Dalam
dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan
sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya
lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang
ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung
pada kehendak nature. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis[3].
Faham al-jabar, kelihatannya
ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn
Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm
yang terrdapat dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang
mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari
Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.
Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh. ditahan 131 H[4].
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar
sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat
dalam peristiwa sejarah berikut ini;
- Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan.
Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai
takdir.
- Khalifah Umar bin
Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu, Umar
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh
karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama,
hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman karena
mengggunakan dalil Takdir Tuhan.
- Khalifah Ali bin
Abi Thalib seusai Perang Siffin ditanya oleh seorang tua tentang
qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua
itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi
dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali
menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan.
Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha
dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa,
gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah
atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
- Pada pemerintahan
Bani Umayyah. Pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke
permukaan. Abdullah bin Abas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras
kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham jabariyah.[5]
Paparan
di atas telah memberikan informasi, bahwa benih-benih faham jabariyah telah
lahir semenjak Rosulullah masih hidup dan berkembang semakin kompleks setelah
beliau wafat bahkan ketika pemerintahan Umar dan Ali yang meluas hingga masa
kekuasaan Bani Umayyah.
B. Para Pemuka
dan Doktrin Aliran Jabariyah
Sebelum
membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah, maka perlu dipahami
dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan tentang aliran-aliran dalam
Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam bukunya as-Syihritsani.
Penggolongan tersebut sebagai berikut;
- Sifat-sifat Tuhan
dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan
aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
- Qadar dan Keadilan
Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan:
Qodariah, Nijariah, Jabariyah
- Sama’ dan Akal
(maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau
dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah).
Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah
dan Asy’Ariyah[6].Dari
penggolongan beberapa aliran tersebut, Jabariyah masuk pada ranah
pembahasan Qadar. Untuk lebih memahamkan bagaimana jabariyah memandang
Qadar, maka akan tersajikan pada pembahasan dibawah ini serta para pemuka
kedua golongan tersebut adalah;
- Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus
Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia
seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris
Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di
Khurasan.
Adapun
doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan
tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal
dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2) Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman
yang diajukan kaum Murji’ah[7].
3) Kalam Tuhan adalah Makhluk.
Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun
fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali
tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4) Surga dan neraka tidak kekal. tentang
keberadaan surga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya,
akhirnya lenyaplah surga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan
tegas mengatakan bahwa, surga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal[8]
B. Ja’ad
bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani
Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen
yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar
dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya
yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah
dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm
untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin
pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1)
Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, Sesuatu yang baru itu
tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)
Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3)
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[9].
Kedua tokoh di
atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang
paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang
perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan,
manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan baginya[10].Sedangkan
menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya.
Yang
termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
C.An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin
Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau
Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1)
Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak”
artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif
maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai
andil. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai
aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan
kasb/acquisition[11].
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan
tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat)
pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan[12]
D. Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin
Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni
bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu
sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
C. Analisis Tentang Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikti
mengenai Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah
lebih dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah
mengenai iktiqad Jabariyah tentang penyerahan totalitas dalam qada dan
Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang
kepada iktiqad jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka
telah menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia
itu jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu
miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan bahwa manusia ini tidak ada usaha dan
ikhtiar, kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar
Tuhan, dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah
dia telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah
yang telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari
kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Apakah bukti bahwa kebanyakan
manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan
tutur katanya walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli
Sunnah Wal Jamaah?
Untuk
membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa kemiskinan tentang
mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh buat, sudah taqdir
Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia
telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar iktiqad Ahli Sunnah Wal
Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah
menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang
telah menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah.
Akan tetapi kesimbangan dari
analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai
paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak
memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri,
yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak
dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu
tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti
lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan
kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian
terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara
keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah
terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani
mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal
dari kepercayaan kepada qadha dan qadarIlahi, sungguh merupakan puncak
kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini
agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang
indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia
yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang
kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan
tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang
hamba.
0 comments:
Post a Comment