728x90 AdSpace

Latest News

Sunday 25 October 2015

Sejarah dan Doktrin Aliran Jabariyah


Sejarah Munculnya Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat ­Al-Jabar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al insane majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memilki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination. Dalam kamus Jhon M.Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya sedangkan predestination adalah takdir[1].Sehingga makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo’ dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebalum agama Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan[2]. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak nature. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis[3].
Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh. ditahan 131 H[4].
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini;
  1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
  2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman karena mengggunakan dalil Takdir Tuhan.
  3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai Perang Siffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
  4. Pada pemerintahan Bani Umayyah. Pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham jabariyah.[5]
Paparan di atas telah memberikan informasi, bahwa benih-benih faham jabariyah telah lahir semenjak Rosulullah masih hidup dan berkembang semakin kompleks setelah beliau wafat bahkan ketika pemerintahan Umar dan Ali yang meluas hingga masa kekuasaan Bani Umayyah.
B. Para Pemuka dan Doktrin  Aliran Jabariyah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah, maka perlu dipahami dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan tentang aliran-aliran dalam Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam bukunya as-Syihritsani. Penggolongan tersebut sebagai berikut;
  1. Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
  2. Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
  3. Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah). Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah[6].Dari penggolongan beberapa aliran tersebut, Jabariyah masuk pada ranah pembahasan Qadar. Untuk lebih memahamkan bagaimana jabariyah memandang Qadar, maka akan tersajikan pada pembahasan dibawah ini serta para pemuka kedua golongan tersebut adalah;
  1. Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1)         Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2)         Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah[7].
3)         Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4)         Surga dan neraka tidak kekal. tentang keberadaan surga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah surga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, surga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal[8]

B.  Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1)      Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)      Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[9].
Kedua tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya[10].Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;

C.An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1)       Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil.  Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition[11].
2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan[12]
            D. Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

 C. Analisis Tentang Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikti mengenai Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah lebih dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad Jabariyah  tentang penyerahan totalitas dalam qada dan Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang kepada iktiqad jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia  itu jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan bahwa manusia ini tidak ada usaha dan ikhtiar, kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar Tuhan, dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah dia telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah yang telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Apakah bukti bahwa kebanyakan manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan tutur katanya walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Untuk membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh buat, sudah taqdir Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang telah menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadarIlahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.



[1]Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia,(Cet.XXVIII, Jakarta:Gramedia,2006), h.234 dan 443
[2]Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), H.40
[3]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Cet.V, Jakarta: UI Press, 1986), h.32.
[4]Ibid., h.33.
[5]Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….,h.64-65
[6]M. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992), h.58
[7]Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.67
[8]Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta : Penerbit Wijaya, 1980 ), 102.

[9]Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.68
[10]Harun Nasution, Teologi Islam…, h.34.


[11] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam…, h.68
[12]Sahilun Nasir A, Pengantar Ilmu Kalam.( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994)

Sejarah dan Doktrin Aliran Jabariyah
  • Title : Sejarah dan Doktrin Aliran Jabariyah
  • Posted by :
  • Date : 13:17
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top