728x90 AdSpace

Latest News

Sunday 25 October 2015

Memahami Sadd al-Dzari'ah

A.    Definisi Dzari’ah dan Sadd adz-Dzariah
1.      Dzari’ah
Secara etimologi (lughawi) al-dzari’ah berarti:
الوسيلة التي يتوصل بها إلى الشيء سواء كان حسيا أو معنويا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “ sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1]
Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari’ah. Perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada wasilah atau perantara. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Misalnya zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara. Maka terjadinya zina tidak tergantung pada terjadinya khlawat. Sedangkan pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, misalnya wudhu yang menjadi perantara shalat.
Perbedaan kedua, dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang diperintahkan, maka wasilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka wasilahnya disebut dzari’ah.[2]
2.      Saddu adz—Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-zari’ah berarti wasilah atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.[3]
Sedangkan menurut istilah, Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan:
التوسل بما هو مصلحة إلى مفسدة
“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”[4]
Sedangkan al-Syaukani memberi definisi dzari’ah dengan :
المسألة التي ظاهرها الإباحة ويتوصل بها إلى فعل المحظور
“Masalah (sesuatu) yang dilihat secara lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang”. Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.[5]
B.     Macam-Macam Sadd adz-dzari’ah
Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua[6]yaitu:
1.   Dari segi kualitas kemafsadatannya.
Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat[7]:
a.    Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap.
b.   Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
c.    Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.
d.   Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.
2.   Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2 :
a.       Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.
b.      Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.
Ibnu Qayyim juga membagi dzari’ah jenis ini menjadi dua yaitu
a.       Yang kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya
b.      Yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya
3.   Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat,[8] yaitu:
a.       Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’
b.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.
c.       Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’
d.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.
C.    Pandangan Ulama tentang Sadd adz-Dzariah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
1.      Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum. Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, juga menerima metode sadd adz-dzari’ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. [9]
Ulama yang menyatakan bahwa sadd adz-dzariah dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum syara’ diantaranya adalah para ulama Malikiyah dan Hanabilah. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Hal itu disebabkan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan  hal tersebut. Contohnya dalam surat Al-An’am: 108
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْااللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….

dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”[10]
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah dibolehkan, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina akan menyebabkan orang tersebut mencaci Allah maka perbuatan tersebut dilarang. Contoh lain adalah surat an-Nur: 31
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.[11]
Menghentakkan kaki bagi perempuan adalah hal yang dibolehkan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki menjadi dilarang.
Sedangkan menurut sunnah, dalam sebuah kasus Rasulullah saw melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (H.R Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin mendapatkan harta warisan.[12] Contoh lain adalah haramnya berkhlawat bagi seorang wanita dan pria yang buakn mahramnya serta larangan bagi wanita untuk melakukan  perjalanan tanpa didampingi mahramnya (HR Bukhari dan Muslaim), larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya karena hal ini akan membuat putusnya hubungan kekerabatan antara wanita-wanita tersebit (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan Abu dawud)[13]
Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Ditempatkannya adz-dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.[14]
2.      Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu. Akan tetapi Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan al-Syafi’i dalam kondisi—kondisi tertentu juga menggunakan sadd adz-dzariah. [15]Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[16]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal).
3.      Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh).  Oleh sebab itu mereka menolak sadd adz-dzari’ah dengan berbagai alasan berikut:
a.       Dasar pemikiran sadd adz-dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (nalar) seperti ini.
b.      Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran atau sunnah dan Ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber tersebut bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan sadd adz-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’ hanyalah hukum pokok atau mawashid, sedangkan hukum pada wasilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’.[17]



[1] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160
[2] Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal. 400
[3] Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005, hal.172
[4] Nasroen Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 161
[5]Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999, hal. 142
[6] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996 hal. 162
[7] Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, op. cit hal 166
[8]Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, op. cit hal 166
[9]Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal. 404.
[10] Q.S. Al-An’am: 8
[11] Q.S. An-Nuur: 31
[12] Nasroen Haroen, Ushul.....Op.cit, hal. 167-168
[13]_______,  Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996, Hal. 2006
[14] Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 400
[15] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986, hal. 888-889
[16] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1, Dar al-Ma’rifah, Beirut: 1997, hal. 465.
[17] Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 406
Memahami Sadd al-Dzari'ah
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top