A.
Definisi Dzari’ah dan Sadd adz-Dzariah
1.
Dzari’ah
Secara etimologi (lughawi) al-dzari’ah berarti:
الوسيلة
التي يتوصل بها إلى الشيء سواء كان حسيا أو معنويا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara
hissi atau ma’nawi, baik atau buruk”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian
dzari’ah dengan “ sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung
kemudharatan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan
pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada
juga dzariah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1]
Badran dan
Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari’ah. Perbedaannya
terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada wasilah atau
perantara. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada
perantara. Misalnya zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara.
Maka terjadinya zina tidak tergantung pada terjadinya khlawat. Sedangkan pada
muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, misalnya wudhu yang
menjadi perantara shalat.
Perbedaan
kedua, dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ada di balik perantara
itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang diperintahkan, maka
wasilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju
adalah perbuatan yang dilarang, maka wasilahnya disebut dzari’ah.[2]
2.
Saddu adz—Dzari’ah
Kata sadd
menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-zari’ah berarti wasilah
atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara
bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.[3]
Sedangkan
menurut istilah, Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan:
التوسل
بما هو مصلحة إلى مفسدة
“Melakukan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”[4]
Sedangkan
al-Syaukani memberi definisi dzari’ah dengan :
المسألة
التي ظاهرها الإباحة ويتوصل بها إلى فعل المحظور
“Masalah (sesuatu) yang dilihat secara
lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang”.
Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya
dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia
capai berakhir pada suatu kemafsadatan.[5]
B.
Macam-Macam Sadd
adz-dzari’ah
Adz-Dzari’ah
dibagi menjadi dua[6]yaitu:
1.
Dari segi kualitas kemafsadatannya.
Dari
segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat[7]:
a.
Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat,
misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap.
b.
Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya
menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi
hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
c.
Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat,
misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini
harus dilarang.
d.
Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat,
namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan
hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang
memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama
tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada
yang berpendapat sebaliknya.
2.
Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang
ditimbulkan
Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2 :
a.
Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu
kemafsadata.
b.
Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja
ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja
misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga
dicaci-maki orang tersebut.
Ibnu
Qayyim juga membagi dzari’ah jenis ini menjadi dua yaitu
a.
Yang kemaslahatannya lebih besar dari
kemafsadatannya
b.
Yang kemafsadatannya lebih besar dari
kemaslahatannya
3.
Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi
empat,[8] yaitu:
a.
Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu
kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’
b.
Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi
dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh
syara’.
c.
Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak
bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat,
misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’
d.
Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi
kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut
Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.
C.
Pandangan Ulama tentang Sadd adz-Dzariah
Tidak semua
ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan
hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima
sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
1.
Kelompok
pertama,
yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum. Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, juga menerima metode
sadd adz-dzari’ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. [9]
Ulama yang
menyatakan bahwa sadd adz-dzariah dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum
syara’ diantaranya adalah para ulama Malikiyah dan Hanabilah. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Hal itu disebabkan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang
mengisyaratkan hal tersebut. Contohnya dalam
surat Al-An’am: 108
وَلَا
تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْااللهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمِ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan….
“dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”[10]
Sebenarnya
mencaci dan menghina penyembah selain Allah dibolehkan, bahkan jika perlu
memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina akan menyebabkan
orang tersebut mencaci Allah maka perbuatan tersebut dilarang. Contoh lain
adalah surat an-Nur: 31
وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.”[11]
Menghentakkan
kaki bagi perempuan adalah hal yang dibolehkan, namun karena menyebabkan
perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan
rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki menjadi dilarang.
Sedangkan
menurut sunnah, dalam sebuah kasus Rasulullah saw melarang pembagian harta
warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (H.R Bukhari dan Muslim), untuk
menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin
mendapatkan harta warisan.[12] Contoh lain adalah haramnya berkhlawat bagi seorang wanita dan
pria yang buakn mahramnya serta larangan bagi wanita untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahramnya (HR
Bukhari dan Muslaim), larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya karena
hal ini akan membuat putusnya hubungan kekerabatan antara wanita-wanita
tersebit (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan Abu dawud)[13]
Dari beberapa
contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan
sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya. Ditempatkannya adz-dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum
meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’
tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena
perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang
secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu
adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.[14]
2.
Kelompok kedua, yang tidak
menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi
dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah
sebagai metode istinbath pada kasus tertentu. Akan tetapi Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan
al-Syafi’i dalam kondisi—kondisi tertentu juga menggunakan sadd adz-dzariah. [15]Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus
penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita
yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk
berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok.
Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak
boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar
tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam
keadaan iddah.[16]
Sedangkan kasus paling menonjol yang
menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah
transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal).
3.
Kelompok ketiga, yang menolak
sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini
sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna
tekstual (zahir al-lafzh). Oleh
sebab itu mereka menolak sadd adz-dzari’ah dengan
berbagai alasan berikut:
a.
Dasar
pemikiran sadd adz-dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada
pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama zhahiriyah menolak secara mutlak
ijtihad dengan ra’yu (nalar) seperti ini.
b.
Hukum
syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran atau
sunnah dan Ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber tersebut
bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan sadd adz-dzari’ah dalam bentuk
kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’ hanyalah hukum
pokok atau mawashid, sedangkan hukum pada wasilah atau dzari’ah tidak pernah
ditetapkan oleh nash atau ijma’.[17]
[1] Nasroen
Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160
[2] Amir
Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal.
400
[3] Satria
Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005, hal.172
[4] Nasroen
Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 161
[5]Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,
PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999, hal. 142
[6] Drs. H. Nasrun Haroen, M.
A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996 hal. 162
[7] Dr. H. Fathurrahman Djamil,
MA, op. cit hal 166
[8]Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, op.
cit hal 166
[9]Amir
Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal.
404.
[10] Q.S. Al-An’am:
8
[11] Q.S. An-Nuur:
31
[12] Nasroen
Haroen, Ushul.....Op.cit, hal. 167-168
[14] Amir
Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 400
[15] Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986,
hal. 888-889
[16] Abd al-Ghani
al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1,
Dar al-Ma’rifah, Beirut: 1997, hal. 465.
[17] Amir
Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 406
0 comments:
Post a Comment