728x90 AdSpace

Latest News

Sunday 25 October 2015

Pengertian, Ketentuan, serta Pendapat Ulama' Mengenai Taqlid


A.   Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti. [1]
Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
1.      Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
2.      Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.[2]
Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
التّقليد قبول بغير حجّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”
Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
التّقليد هو الاْخذ بقول غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.[3]
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh Umar.
B.     Hukum dan Ketentuan Bertaqlid
Para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
1.      Taqlid yang Haram
Para ulama sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang jenis ini. Jenis taqlid ini ada tiga macam, yaitu:
a.          Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya. Padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surat al-Ahzab ayat 64-67 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam api neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami”. (QS. Al-Ahzab: 64-67)
b.         Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. Firman Allah dalam surat At-Taubah: 31 yang artinya:
“Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. At-Taubah: 31).[4]
c.          Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti menyembah berhala,  tetapi dia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala itu.[5]
2.      Taqlid yang Dibolehkan
Yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
3.      Taqlid yang Diwajibkan
Taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya dijadikan hujjah, yakni Rasulullah Saw.[6]

C.    Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid
Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
1.      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
2.    Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang  berbuat zhalim itu-ketika mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
3.    Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kammu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya?[7]
Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga. Hal ini sangat dicela oleh Allah.
Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 
“maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.
D.    Pesan para Ulama Mengenai Taqlid
Imam Abu Hanifah berkata:[8]
هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما قدّرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو أولى بالصواب
 “ini adalah pendapat saya (Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati padanya maka siapa yang datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang lebih benar.”
Imam Malik berkata:
Aku adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka lihatlah oleh mu pendapat mu. Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah rasulnya (Quran dan Sunah) maka ambillah. Dan ayng tidak sesuai dengan keduanya itu tingggalkan lah.”
Imam syafi’i berkata:
Hai Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala apa yang aku katakan, tetapi lihatlah pada dirimu, karena sesungguhnya itu adalah urusan agama.”
Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah engkau mengikuti pendapatku, juga pendapat Maliki, dan pendapat Auza’i, tetapi caaarilah dari mana mereka mengambilnya.”




[1]  Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 323.
[2] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.132.
[3] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ….., h. 324.
[4] Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, ….., h. 133-134.
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ……, h. 326.
[6] M. Suparta dan Djedjen  Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT. Karya Toha Putra), h. 176.
[7] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 134
[8] A. Hanafie, Ushul Fiqh, , (Jakarta: Widjaya), hal 159.
Pengertian, Ketentuan, serta Pendapat Ulama' Mengenai Taqlid
  • Title : Pengertian, Ketentuan, serta Pendapat Ulama' Mengenai Taqlid
  • Posted by :
  • Date : 14:10
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top