728x90 AdSpace

Latest News

Saturday, 13 December 2014

Hukum Menjatuhkan Talak.




Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari’at Islam. Akad perkawinan dimaksudkan untuk selama hidup, agar dengan demikian suami istri menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen agar dalam perlindungan rumah tangganya itu kedua suami istri dapat menciptakan iklim rumah tangga yang memungkinkan terwujudnya dan terpeliharanya anak keturunan dengan sebaik-baiknya.
Untuk itu maka syati’at Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimna Al-Qur’an memberi istilah pertalian itu dengan mitsaq ghalizh (janji kukuh). Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 21 menyatakan:
وَ أَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقًا غَلِيْظًا (النساء: )
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.
Oleh karena itu suami istri wajib memelihara terhubungnya tali pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat tersebut. Meskipun suami oleh hukum Islam diberi hak menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya.
Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah. Rasullah SAW bersabda:
اَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَى اللهِ اَلطَّلَاقُ
Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.
Hadits ini menjadi dalil bahwa di antara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidakdipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alas an yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menhindarinya, dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
اَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامُ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau surga.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh suami. Yang paling tepat di antara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat (terpaksa). Pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Alasannya ialah hadits yang menyatakan:
لَعَنَ اللهُ كُلَّ ذَوَّاقٍ مِطْلَاقٍ
Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi suka mentalak istri.
Mereka ini juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat dan anugrah Allah, padahal mengkufuri nikmat Allah itu dilarang. Oleh karena itu, menjatuhkan talak tidak boleh, kecuali karena darurat (terpaksa).
Di antara darurat yang membolehkan suami menjatuhkan talak ialah keraguan suami terhadap perilaku istri, tertanamnya rasa tidak senang di hati suami terhadap istri. Apabila tidak ada hajat yang mengharuskan adanya talak, menjadikan perbuatannya itu mengkufuri nikmat Allah, maka talak dalam keadaan demikian dilarang.
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui dijatuhkannya talak tanpa sebab atau alasan. Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi mubah dan adakalanya menjadi sunnat.
Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami, seperti suami tidak mampu mendatangi istri. Dalam hal ini istri berhak menuntut talak dari suaminya dan suami wajib menuruti tuntutan istri, jangan membiarkan istri terkatung-katung ibarat orang yang digantung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak dijamin hak-haknya.
Ulama Hanabilah mewajibkan talak dalam hal terjadi kasus syiqaq jika kedua hakam berpendapat bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk mengakhiri persengketaan suami istri. Demikian pula dalam kasus ila, yakni suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya dan telah berlalu masa empat bulan setelah sumpah tersebut si suami tidak mencabut sumpahnya itu., berdasarkan firman Allah dsalam surat Al-Baqarah ayat 226-227:
اَلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ فَاِنْ فَاءُوْا فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. وَ اِنْ عَزَمُوْا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (البقرة:)
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Tahu.
Meng-ila istri maksudnya bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpah ini seorang istri menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Setelah empat bulan berselang sumpah suami tidak hendak kembali kepada istrinya, maka wajiblah ia menjatuhkan talaknya, agar dengan deikian istri tidak terkatung-katung seperti orang digantung, sedangkan jika suami berkehendak lagi, maka ia wajib membayar kafarat sumpah. [1]



[1] Ilmu Fiqh II, h. 245. Lihat pula Zakiah Daradjat, op. cit., h. 188-192.
Hukum Menjatuhkan Talak.
  • Title : Hukum Menjatuhkan Talak.
  • Posted by :
  • Date : 18:09
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top