728x90 AdSpace

Latest News

Sunday, 25 October 2015

Memahami Pengertian, Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Qiyas

A.    Pengertian Qiyas
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.[1] Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.[2]
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.
  والسنة الكتاب من المتقدم خبر على الموافقة الدلائل طلب ما هو والقياس
Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan  keadaan illat.
Supaya lebih mudah memahaminya, akan kami kemukakan beberapa contoh berikut:
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khomr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  (Q.S al-Ma’idah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khomr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khomr.
Si Budi telah menerima wasiat dari Ahmad bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika Ahmad meninggal dunia. Budi ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan itu, karena itu dibunuhnyalah Ahmad. Timbul persoalan: apakah Budi tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya. Perbuatan itu ialah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan ini Rosulullah saw bersabda:
(الترمذي رواه) لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ
Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (H.R Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si Budi haram memperoleh tanah yang diwasiatkan Ahmad untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaiman orang yang telah membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperoleh harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.[3]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.      Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.      Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3.      Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits

B.     Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.

C.    Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.  Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1.      Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ': 59).
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2.      Al-Hadis.
a)      Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
b)      Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
“Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” (HR. Bukhari dan an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
3.      Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
“kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…”
4.      Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

D.    Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:[4]
Asal yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut asal atau maqis‘ alaih  atau musyabbah bih.
Far’u yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u atau al-maqis atau al-musyabbah.
Hukum asal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
Illat yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada asal dan sifat yang dicari pada far’u.
Syarat-syarat illat antara lain adalah:
Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra merupakan sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asal sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’u. untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut asal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum asal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:[5]
1.      Asal ialah memakan harta anak yatim
2.      Far’u ialah menjual harta anak yatim
3.      Hukum asal ialah haram
4.      Illat ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.

E.     Syarat-Syarat Qiyas
Setelah diterangkan rukuk-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut.
1.      Asal
Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syarat-syarat asal itu adalah:[6]
Hukum asal itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’ asal itu bukan merupakan far’u dari asal lainnya dalil yang menetapkan ‘illat pada asal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum asal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas hukum asal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
2.      Al-Far’u
Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:[7]
Illat yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada asal. Contoh ‘illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i). ‘illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan ‘illat yang ada pada khamr. Contoh ‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
Hukum asal tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.
Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut para ulama’ ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
Bahkan dalam literature lain ditambahkan beberapa syarat-syarat far’u, antara lain:[8]
Hukum furu’ tidak mendahului hukum asal. Artinya hukum far’u itu harus datang kemudian dari hukum asal. Contohnya adalah mengqiyaskan wudhu’ dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut tidak benar, karena wudlu’ (far’u) diadakan sebelum hijrah, sedang tayammum (asal) diadakan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudlu’ di saat tidak dapat melakukan wudlu’. Bila qiyas itu dibenarkan, maka berarti menetapkan hukum sebelum ada illatnya.
Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri. Ulama usul berkata: “apabila datang nash maka qiyas menjadi batal.
Hukum cabang sama dengan hukum asal.
3.      Hukum Asal
Syarat-syarat hukum asal, antara lain:[9]
Hukum syara’ itu hendaknya hukum syara’ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amaly kepada hukum yang mujmal ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
Hukum asal harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional, hukum asal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum asal macam ini ada dua macam, yaitu:
a)   ‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum asal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqoshor sholat bagi orang musafir. ‘Illat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (masyaqqot). Tetapi Al-Qur’an dan dan hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena masyaqqat tetapi karena adanya safar (perjalanan)
b)   Dalil (Al-Qur’an dan Hadits) menunjukkan bahwa hukum asal itu berlaku khusus, tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lailn. Misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan:
فَحَسْبُه خُزَيْمَةَ لَهُ شَهِدَ مَنْ
Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud)
Ayat Al-Qur’an menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki bersama dua orang wanita. (Q.S Al-Baqoroh, 2: 282), tetapi Rosulullh saw. Menyatakan bahwa apabila Khuzaimah (sahabat) yang menjadi saksi, maka cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak bisa dikembangkan dan diterapkan kepada far’u, karena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi Rosululloh saw., seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
Ada juga syarat lain yang disebutkan dari sumber lain[10] bahwa syarat hukum asal adalah:
Hukum asal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum asal itu membangun (menetapkan) hukum. Alasannya ialah bahwa perentangan hukum dari asal kepada far’u adalah didasarkan kepada adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini sangat tergantung kepada pandangan (i’tibar) dari pembuat hukum asal yang telah dimansukh, tidak ada lagi pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu pada hukum asal tersebut.
4.      ‘illat
Secara etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara termenologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu:
 لاَبِالذَّاتِ تَعَالَى بِجَعْلِهِ حُكْمِ فِيْ المُئَثِّرُ
Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar’i.
Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum.[11]
Misalnya seorang pembunuh terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan yang ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh semata-mata yang menjadi ‘illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan, tetapi atas perbuatan dari kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat ini hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum.
a)      Bentuk-bentuk ‘illat
‘illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu[12]. Di antara bentuk sifat itu adalah:
Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.
Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.
Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.
Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.
Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos.
Semua sifat tersebut dapat menjadi ‘illat. Tetapi mengenai kemungkinannya untuk menjadi ‘illat bagi suatu hukum, para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang dapat menerima sifat tersebut sebagai ‘illat, masih diperlukan beberapa syarat yang akan dijelakan di bawah ini.
b)      Syarat-syarat ‘illat
Syarat-suarat ‘illat [13] adalah sebagai berikut:
‘illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemasalahatan umat manusia. Contohnya: sifat “menjaga diri” merupakan hikmah diwajibkannya qishosh. Maksudnya, bila seseorang pembunuh diqishosh, maka orang akan menjauhi pembunuhan, sehingga diri (jiwa) manusia akan terpelihara dari pembunuhan.
‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Apabila ‘illat itu tidak nyata, tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap indera manusia, maka sifat seperti itu tidak bisa dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata, adalah sifat “sukarela” dalam jual beli. Sifat “sukarela” ini tidak bisa dijadikan ‘illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena “sukarela’ itu masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh menyatakan bahwa “sukarela” itu harus diwujudkan dalam bentuk perkataan “ijab” dan ”qobul”.
Dalam literature lain [14]ditambahkan bahwa syarat ‘illat itu antara lain:
‘illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Contohnya: keadaan dalam perjalanan menjadi ‘illat untuk bolehnya mengqashar sholat. Qashar sholat diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan itu menyulitkan (masyaqqah), namun masyaqqah itu sendiri tidak dapat diukur dan ditentukan secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu situasi dan situasi lainnya. Karenanya, masyaqqah itu tidak dapat dijadikan ‘illat hukum. Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak dhahir), sehingga harus diambil sifat lain yang dhahir sebagai patokan yang alasan di dalamnya terdapat alasan yang sebenarnya, yaitu “keberadaan dalam perjalanan” yang sifatnya jelas dan terukur.
Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat. Adanya kesesuaian hubungan antara sifat dengan hukum itu menjadikannya rasional, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakin dalam berbuat.
Contohnya: sakit menjadi ‘illat bolehnya seseorang membatalkan puasa, karena sakit itu menyulitkan seseorang untuk berpuasa. Seandainya dilakukan juga, malah akan merusak dirinya, padahal syara’ melarang merusak dan melarang mencelakakan diri. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa, karena antara mengantuk dan puasa tidak mempunyai hubungan kesesuaian apa-apa.
c)      Fungsi ‘illat
Pada dasanya setiap ‘illat menimbulkan hukum. Antara ‘illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu dari ‘illat,[15] yaitu sebagai:
Penyebab/penetap yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its. Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan.
Penolak yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan. Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat.
Pencabut yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut haq bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.
Penolak dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Contohnya sifat radha’ (hubungan persusuan) berkaitan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.

F.     Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam,[16] yaitu:
1.      Qiyas ‘illat ialah qiyas yang mempersamakan asal dengan far’u, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a)      Qiyas jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi menjadi:
1)      Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
2)      Qiyas mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada asal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada asal.
3)      Qiyas musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada asal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak yatim.
Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada asal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada far’u.
b)      Qiyas khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
2.      Qiyas dalalah
ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
3.      Qiyas syibih
Qiyas syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua asal atau lebih, tetapi diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada asal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi,[17] yaitu:
Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum asal, karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada asal. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asal, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. (Q.S an-Nisa’, 4: 2)
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada asal. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada asal. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.



[1] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh.(Bandung. Pustaka Setia:2008) hal.172
[2] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1. (Jakarta. Departemen Agama: 1986) hal.107
[3] Ibid hal.107

[4] Djazuli, Ushul Fiqih (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2000) hal. 136-137
[5] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1. (Jakarta. Departemen Agama: 1986) hal118-119
[6] Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995) hal. 73
[7] Ibid, hal 75-76

[8] Ahmad Hanafie, Ushul Fiqih(Jakarta, Widjaya: 1962) hal.129
[9] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh.hal 119-120

[10] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh hal.119-120
[11] Nasrun Harun. Ushul fiqh, hal. 77
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1. hal. 173
[13] Nasrun Harun. Ushul fiqh hal. 75-76
[14] Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid1 hal. 176
[15] Ibid hal. 174
[16] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh  hal. 139-142
[17] Nasrun Harun. Ushul Fiqh  hal.75-76
Memahami Pengertian, Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Qiyas
  • Title : Memahami Pengertian, Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Qiyas
  • Posted by :
  • Date : 12:59
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top