A. Pengertian Qiyas
Qiyas
dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur,
menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.[1]
Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur,
seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi
yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya.
Sedangkan
menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau
peristiwa itu.[2]
Jadi qiyas
merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.
Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua
hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya
dalam nash.
والسنة الكتاب من المتقدم خبر على الموافقة الدلائل طلب ما هو والقياس
“Qiyas
adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar
yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
Adapun
cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang
ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya.
Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak
disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang
ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan
hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat.
Supaya
lebih mudah memahaminya, akan kami kemukakan beberapa contoh berikut:
Minum
narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak
ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khomr,
yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S
al-Ma’idah: 90)
Antara
minum narkotik dan minum khomr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat
memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan
‘illat itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana
haramnya minum khomr.
Si Budi
telah menerima wasiat dari Ahmad bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang
telah ditentukan, jika Ahmad meninggal dunia. Budi ingin segera memperoleh
tanah yang diwasiatkan itu, karena itu dibunuhnyalah Ahmad. Timbul persoalan:
apakah Budi tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan
hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash dan ada pula persamaan ‘illatnya. Perbuatan itu ialah pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin
segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan ini Rosulullah saw bersabda:
(الترمذي رواه) لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ
Orang
yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (H.R Tirmidzi)
Antara
kedua peristiwa itu ada persamaan illatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu
dapat ditetapkan hukum bahwa si Budi haram memperoleh tanah yang diwasiatkan
Ahmad untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya,
sebagaiman orang yang telah membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan
memperoleh harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
Dari
contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun
nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa
atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama
pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama
dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.[3]
Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan
ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar
hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits,
pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.
Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali
tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan
tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang
berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil
Al Qur’an dan hadits
B. Kehujjahan Qiyas
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
C. Dasar Hukum Qiyas
Sebagian
besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum
dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan
qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum,
ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka
itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh
satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang
tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah
satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah. Mengenai dasar hukum
qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan
al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1. Al-Qur’an
Allah
SWT berfirman:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ':
59).
Dari
ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil
amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan
atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan
qiyas.
Artinya:
“Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada
pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka
dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan)
dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam
hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat
(dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr: 2)
Pada
ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil
dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya
ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang
terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir
itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang
kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan
ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’
dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2. Al-Hadis.
a)
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai
gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana
(cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz
menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari
hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat
dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan
qiyas.
b)
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab
pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
“Sesungguhnya
seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak
sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban
melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji
untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang
akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar.” (HR.
Bukhari dan an-Nasâ’i)
Pada
hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada
manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia
dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya
untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan
mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan
berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada
Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada
manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar.
Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
3. Perbuatan sahabat
Para
sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut
para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah
Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil
keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
“kemudian
pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran…”
4.
Akal
Tujuan
Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak
diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan
‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum
dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras
akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum
dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
D. Rukun Qiyas
Dari
pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok
(rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:[4]
Asal
yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut asal atau maqis‘
alaih atau musyabbah bih.
Far’u
yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang
diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u atau al-maqis
atau al-musyabbah.
Hukum asal
yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum
pula bagi cabang.
Illat
yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada
pada asal dan sifat yang dicari pada far’u.
Syarat-syarat illat antara lain adalah:
Illat
itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra merupakan sifat
yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’
dan tidak mudah berubah merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian
antara hukum da sifatnya merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi
bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asal sebagai contoh
ialah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa
ini disebut far’u. untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan
peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut asal.
Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum asal)
berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (Q.S
an-Nisa’: 10).
Persamaan
‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:[5]
1.
Asal ialah memakan harta anak yatim
2.
Far’u ialah menjual harta anak yatim
3.
Hukum asal ialah haram
4.
Illat ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak
yatim.
E. Syarat-Syarat Qiyas
Setelah
diterangkan rukuk-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari
masing-masing rukun qiyas tersebut.
1.
Asal
Menurut
Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh
Syafiiyyah syarat-syarat asal itu adalah:[6]
Hukum asal
itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’ asal itu bukan merupakan far’u dari asal
lainnya dalil yang menetapkan ‘illat pada asal itu adalah dalil khusus, tidak
bersifat umum asal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas hukum asal itu
tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
2.
Al-Far’u
Para
ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
al-far’u yaitu:[7]
Illat
yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada asal. Contoh ‘illat
yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya
sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila
diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah
dan al-Nasa’i). ‘illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan
‘illat yang ada pada khamr. Contoh ‘illat yang jenisnya sama adalah
mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan
kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
Hukum asal
tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum
mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman
melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam
mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai
suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri
yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani
membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut
untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah
tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang
dzimmi dikenakan kafarat.
Tidak
ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash
atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan
qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan
dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut
para ulama’ ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum
meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak
berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
Bahkan
dalam literature lain ditambahkan beberapa syarat-syarat far’u, antara lain:[8]
Hukum
furu’ tidak mendahului hukum asal. Artinya hukum far’u itu harus datang
kemudian dari hukum asal. Contohnya adalah mengqiyaskan wudhu’ dengan tayammum
dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut
tidak benar, karena wudlu’ (far’u) diadakan sebelum hijrah, sedang tayammum (asal)
diadakan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai
pengganti wudlu’ di saat tidak dapat melakukan wudlu’. Bila qiyas itu
dibenarkan, maka berarti menetapkan hukum sebelum ada illatnya.
Cabang
tidak mempunyai hukum yang tersendiri. Ulama usul berkata: “apabila datang nash
maka qiyas menjadi batal.
Hukum
cabang sama dengan hukum asal.
3.
Hukum Asal
Syarat-syarat
hukum asal, antara lain:[9]
Hukum
syara’ itu hendaknya hukum syara’ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah
hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang
demikian, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi
sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran,
selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara
ijma’tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan
hukum syara’ yang amaly kepada hukum yang mujmal ‘alaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
Hukum asal
harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional, hukum asal itu
tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa
atau kejadian tertentu.
Hukum asal
macam ini ada dua macam, yaitu:
a)
‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum asal saja, tidak
mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqoshor sholat bagi orang
musafir. ‘Illat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan
kesukaran atau kesulitan (masyaqqot). Tetapi Al-Qur’an dan dan hadits
menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena masyaqqat tetapi karena adanya
safar (perjalanan)
b)
Dalil (Al-Qur’an dan Hadits) menunjukkan bahwa hukum asal
itu berlaku khusus, tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lailn.
Misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan:
فَحَسْبُه خُزَيْمَةَ لَهُ شَهِدَ مَنْ
Kesaksian
Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud)
Ayat
Al-Qur’an menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang
laki-laki atau satu orang laki-laki bersama dua orang wanita. (Q.S Al-Baqoroh,
2: 282), tetapi Rosulullh saw. Menyatakan bahwa apabila Khuzaimah (sahabat)
yang menjadi saksi, maka cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini
tidak bisa dikembangkan dan diterapkan kepada far’u, karena hukum ini hanya
berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan
bagi Rosululloh saw., seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
Ada
juga syarat lain yang disebutkan dari sumber lain[10] bahwa
syarat hukum asal adalah:
Hukum asal
itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah dinasakhkan,
sehingga masih mungkin dengan hukum asal itu membangun (menetapkan) hukum.
Alasannya ialah bahwa perentangan hukum dari asal kepada far’u adalah
didasarkan kepada adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini sangat
tergantung kepada pandangan (i’tibar) dari pembuat hukum asal yang telah
dimansukh, tidak ada lagi pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu
pada hukum asal tersebut.
4.
‘illat
Secara
etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan
sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat,
karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi
sakit.
Secara
termenologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul
fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut
imam al-Ghozali, yaitu:
لاَبِالذَّاتِ تَعَالَى بِجَعْلِهِ حُكْمِ فِيْ المُئَثِّرُ
Sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena
perbuatan syar’i.
Menurutnya,
‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam
arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat
bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus
karena adanya izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu
berpengaruh terhadap hukum.[11]
Misalnya
seorang pembunuh terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh,
disebabkan pembunuhan yang ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh
semata-mata yang menjadi ‘illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan,
tetapi atas perbuatan dari kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat ini hanya
merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran
untuk mengetahui suatu hukum.
a)
Bentuk-bentuk ‘illat
‘illat
adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk
sifat yang munkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu[12]. Di
antara bentuk sifat itu adalah:
Sifat
haqiqi, yaitu yang dapat
dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan)
atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
Sifat
hissi, yaitu sifat atau
sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang
menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang
menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti
senang atau benci.
Sifat
‘urfi, yaitu sifat yang
tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik,
mulia dan hina.
Sifat
lughowi, yaitu sifat yang
dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya
nabiz karena ia bernama khomr.
Sifat
syar’i, yaitu sifat yang
keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu
hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan
alasan bolehnya barang itu dijual.
Sifat
murakkab, yaitu
bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya:
sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya
dijadikan alasan berlakunya hukum qishos.
Semua
sifat tersebut dapat menjadi ‘illat. Tetapi mengenai kemungkinannya untuk
menjadi ‘illat bagi suatu hukum, para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang
dapat menerima sifat tersebut sebagai ‘illat, masih diperlukan beberapa syarat
yang akan dijelakan di bawah ini.
b)
Syarat-syarat ‘illat
Syarat-suarat
‘illat [13] adalah
sebagai berikut:
‘illat
itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum,
yaitu untuk kemasalahatan umat manusia. Contohnya: sifat “menjaga diri”
merupakan hikmah diwajibkannya qishosh. Maksudnya, bila seseorang pembunuh
diqishosh, maka orang akan menjauhi pembunuhan, sehingga diri (jiwa) manusia
akan terpelihara dari pembunuhan.
‘Illat
itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera manusia, karena ‘illat merupakan
pertanda adanya hukum. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Apabila ‘illat
itu tidak nyata, tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap indera manusia, maka
sifat seperti itu tidak bisa dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata,
adalah sifat “sukarela” dalam jual beli. Sifat “sukarela” ini tidak bisa
dijadikan ‘illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena
“sukarela’ itu masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli
fiqh menyatakan bahwa “sukarela” itu harus diwujudkan dalam bentuk perkataan
“ijab” dan ”qobul”.
Dalam
literature lain [14]ditambahkan
bahwa syarat ‘illat itu antara lain:
‘illat
itu harus dalam bentuk sifat yang terukur keadaannya jelas dan terbatas,
sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Contohnya: keadaan dalam
perjalanan menjadi ‘illat untuk bolehnya mengqashar sholat. Qashar sholat
diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan
itu menyulitkan (masyaqqah), namun masyaqqah itu sendiri tidak dapat diukur dan
ditentukan secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara
satu situasi dan situasi lainnya. Karenanya, masyaqqah itu tidak dapat
dijadikan ‘illat hukum. Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak dhahir),
sehingga harus diambil sifat lain yang dhahir sebagai patokan yang alasan di
dalamnya terdapat alasan yang sebenarnya, yaitu “keberadaan dalam perjalanan”
yang sifatnya jelas dan terukur.
Harus
ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi ‘illat. Adanya kesesuaian hubungan antara sifat dengan hukum itu
menjadikannya rasional, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk
lebih yakin dalam berbuat.
Contohnya:
sakit menjadi ‘illat bolehnya seseorang membatalkan puasa, karena sakit itu
menyulitkan seseorang untuk berpuasa. Seandainya dilakukan juga, malah akan
merusak dirinya, padahal syara’ melarang merusak dan melarang mencelakakan
diri. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat
dijadikan ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa, karena antara mengantuk dan puasa
tidak mempunyai hubungan kesesuaian apa-apa.
c)
Fungsi ‘illat
Pada
dasanya setiap ‘illat menimbulkan hukum. Antara ‘illat dan hukum mempunyai
kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu dari ‘illat,[15] yaitu
sebagai:
Penyebab/penetap
yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau
penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its.
Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan
minuman yang memabukkan.
Penolak
yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi
tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum
tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan
menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu
tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan.
Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat.
Pencabut
yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi
dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum.
Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya
thalaq itu mencabut haq bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau
rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.
Penolak
dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah
terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah
berlangsung. Contohnya sifat radha’ (hubungan persusuan) berkaitan dengan
hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan
perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau
membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan
itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.
F. Pembagian qiyas
Qiyas
dapat dibagi menjadi tiga macam,[16]
yaitu:
1.
Qiyas ‘illat ialah qiyas yang mempersamakan asal dengan
far’u, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a)
Qiyas jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil
yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh
dalil itu. Qiyas jali terbagi menjadi:
1)
Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti
memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam
nash.
2)
Qiyas mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih
utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada asal. Seperti haramnya hukum
mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya
ialah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari
kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul
anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena
itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan
hukum yang ditetapkan pada asal.
3)
Qiyas musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada
far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada asal, seperti menjual harta
anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah
sama-sama menghabiskan harta anak yatim.
Memakan
harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (Q.S
an-Nisa’: 10).
Karena
itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua
peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada asal sama pantasnya dengan hukum
yang ditetapkan pada far’u.
b)
Qiyas khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan
‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa
minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua
binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur
dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa
burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan
mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk.
Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging,
daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa
minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa
tulang atau zat tanduk.
2.
Qiyas dalalah
ialah
qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan
adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti
harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau
tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang
yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua
harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab Hanafi,
tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi kepada
ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada
orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak
diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia anak
kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat
zakat.
3.
Qiyas syibih
Qiyas
syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua asal atau lebih,
tetapi diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum
merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena
kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda,
karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada
harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada
orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan
kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat
pada asal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi,[17]
yaitu:
Qiyas
al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum asal,
karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada asal.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam
surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para
ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang
tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah”
karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
Qiyas
al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asal,
karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam
surat al-Nisa’, 2:2:
Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu. (Q.S an-Nisa’, 4:
2)
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul
fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim
secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap
itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
Qiyas
al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan
‘illat yang ada pada asal. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat
lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada asal. Misalnya, mengqiyaskan apel
pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat
yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan
bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka
perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan
gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa
dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum
riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba
al-fadhl pada gandum lebih kuat.
0 comments:
Post a Comment