1.
Rukun
dan Syarat Talak[1]
Rukun talak
ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung
ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai
berikut:
a.
Suami.
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain
suami tidak berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak atas
menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan,
maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan
yang sah.
Abu
Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersada:
لَا
طَلَاقَ اِلَّا بَعْدَ نِكَاحٍ وَ لَا عِتْقَ اِلَّا بَعْدَ مِلْكً.
Tidak
ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali
setelah ada pemilikan
Abu Daud dan
Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir ibn Syu’aib bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
لَا
نَذَرَ لِاِبْنِ آَدَمَ فِيْمَا لَا يَمْلِكُ وَ لَا عِتْقَ فِيْمَا لَا يَمْلِكُ
وَ لَا طَلَاقَ فِيْمَا لَا يَمْلِكُ.
Tidak
ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik dimiliki, tidak ada
pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki, dan tidak ada talak dalam hal
yang tidak dimiliki.
Untuk sahnya
talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1.
Berakal.
Suami yang gila tida sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal
ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena
sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2.
Baligh.
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam
hal ini ulama Haanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz
kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak
dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
3.
Atas
kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri di sini ialah adanya
kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas
pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.
Kehendak
dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu
(dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannyaa.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
اِنَّ
اللهَ وَضَعَ عَنْ اُمَّتِي اَلْخَطَأ وَ النِّسْيَانَ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا
عَلَيْهِ.
Sungguh
Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa silap, lupa dan sesuatu
yang dipaksakan kepadanya.
b.
Istri,
masing-masing suami hanya berak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak
dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Untuk
sahnya talak, bagi istri yang ditalak
disyaratkan sebagai berikut:
1.
Istri
itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin
masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada
dalam perlingungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami
menjatuhkan talak salgi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah
talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal
talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lafi terhadap bekas
istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas istri
tidak lagi berada dalam perlingungan kekuasaan bekas suami.
2.
Kedudukan
istri yang ditalak harus berdasarkan atas akad nikah yang sah, bukan akad nikah
yang batil, seperti akad nikah dalam masa iddah, akad nikah dengan perempuan
saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), akad nikah dengan
anak tirinya yang mana suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak
tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang
ada.
c.
Sighat
Talak.
Sighat
talak yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan
talak, baik itu berupa sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), dan baik itu
berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara ataupun
dengan suruhan orang lain.
Talak
tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukkan
kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke
rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan
talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih
berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai
talak. Pebicaraaan suami tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya
juga tidak dipandang sebagai talak.
d.
Qashdu
(sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh Karena itu, salah
ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami
memberikan sebuah salak kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada
istrinya itu kata-kata: “ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan,
berbunyi: “ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.
0 comments:
Post a Comment