Hukum
Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak,
karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami
diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah istri dan anak-anaknya. Demikian
pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri salama ia menjalankan masa
iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan
talak dengan sesuka hati.
Pada
umumnya, suami dengan pertimbangan akal dan bakat pembawaannya, lebih tabah
menghadapi apa yng kurang menyenangkan ketimbang istri. Biasanya suami tidak
cepat-cepat menjatuhkan talak karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya,
atau karena sesuatu keburukan pada diri istri yang memberatkan tanggung jawab
suami. Hal ini bebeda dengan istri, biasanya wanita itu lebih menonjol sikap
emosionalnya, kurang menonjol sikap rohaniahnya, cepat marah, kurang tahan
menderita,mudah susah dan gelisah, dan jika bercerai bekas istri tidak
menanggung beban materil terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar mahar,
sehingga andaikata talak menjadi hak yang berada di tangan istri, maka besar
kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang
kecil.
Al-Jurawi
mengemukakan bahwa wanita itu biasanya lebih mudah goncang pendapatnya menghadapi
uji coba dan sekulitan hidup, kurang teguh dalam menghadapi hal-hal yang tidak
disenangi. Biasanya wanita lebih mudah gembira dan mudah menjadi susah.
Menjadikan hak talak di tangan suami akan lebih melestarikan hidup suami istri
ketimbang hak talak itu di tangan istri.
Dalam
pada itu suami sebagai penanggung jawab kebutuhan materil rumah tangga dan
menjadi pemimpin keluarga. Pada umumnya, istri lebih tamak harta, sehingga
andaikata hak talak diserahkan kepada kebijaksanaan istri, maka istri akan lebih
senang berganti suami hanya untuk mencari jaminan hidup yang lebih baik dan
nafkah yang lebih besar dari suami kedua, dan masa iddah masih memperoleh
jaminan nafkah dari bekas suami pertama.
Demikian
pula halnya jika hak talak itu berada di tangan suami dan istri secara sama,
artinya suami berhak menjatuhkan talak dan demikian pula istri, maka
persoalannya menjadi lebih buruk dan lebih fatal, karena jika terjadi
perselisihan sedikit saja maka istri akan cepat-cepat menjatuhkan talak. Oleh
karena itu, dijadikannya talakdi tangan suami mengandung hikmah yang besar.
Kendati talak di tangan suami saja masih banyak istri yang mengajukan gugatan
cerai lewat Pengadilan Agama, apalafi kalau istri diberi hak menjatuhkan talak,
maka bencana perceraian akan melanda di mana-mana.
Dalam
hal kekuasaan talak di tangan suami iti, istri tidak perlu berkecil hati dan
khawatir akan kesewenang-wenangan suami, karena hukum Islam memberi kesempatan
kepada istri untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau
menyerahkan sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi agar suami
dapat memperoleh istri yang lain, kemudian atas dasar itu suami menjatuhkan
talak. Inilah yang disebut dengan istilah khulu’ (talak tebus).
Juga
hukum Islam tidak menutup kemungkinan
baig istri untuk menyelamatkan diri dari penderitaan yang menimpa dirinya
sehingga menimbulkan madharat baginya bila perkawinan dilanjutkan, seperti
suami menderita sakit yang wajib dijauhi, suami berperangai buruk, atau
sebab-sebab lain semacam itu, sehingga istri selalu merasa tersiksa hidup
bersama suaminya, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan
Agama, kemudian Hakim menceraikan antara keduanya melalui keputusan pengadilan. [1]
0 comments:
Post a Comment